Piagam Madinah,Simbol Konstitusi Yang Tidak Berlaku
Piagam Madinah, Simbol Konstitusi Yang Tidak Berlaku
***
Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc. (Kader Muda NU)
***
Kedatangan Nabi Muhammad saw ke kota Yatsrib, merupakan kebanggan tersendiri bagi penduduk Madinah. Karena nabi yang mereka imani, percayai akan tinggal bersama mereka dalam satu lingkungan. Maka bukan suatu keanehan jika kaum Aus dan Khozroj semuanya memeluk agam Islam. Karena dengan melihat kejujuran dan segala tindakan-tindakan baik yang tercermin dalam diri Rasulullah saw dan juga para sahabat-sahabatnya. Nabi saw pun memulai pembangunan masyarakat penduduk kota Yatsrib (Yatsrib adalah nama seseorang yang pertama kali bertempat tinggal di sana, namanya adalah Yatsarib bin Qoyin dari bangsa Amaliqoh) yang kemudian diubah oleh Nabi saw menjadi Al-Madinah (kota modern). Dari penamaannya saja, Nabi Muhammad saw mengajarkan bagaimana seorang manusia harus berkembang dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik. Pembangunan masyarakat Islam yang dilakukan oleh Nabi saw terdapat di dalam tiga hal: (1) pembangunan masjid, sebagai simbol persatuan dan kesatuan. (2) mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshor. (3) Menyusun Konstitusi yang mengatur sistem kehidupan muslimin, dan mengatur hubungan mereka dengan kaum lainnya secara umum, dan bangsa Yahudi secara khusus.
Poin-poin tersebut merupakan laut yang tak bertepi jika diuraikan secara detail. Di lain kesempatan penulis akan menulis uraian tentangnya. Karena penulis hanya membahas poin yang ketiga, yaitu: penyusunan konstitusi yang diberlakukan kepada kaum muslimin dengan selain Muslimin.
Madinah merupakan tempat yang baru didatangi oleh Nabi. Beliau dengan segala daya dan upaya ingin mengatur dan memajukan umat Islam, meninggalkan kebodohan dan menuju kepada kehidupan yang lebih berkualitas, baik kualitas dhohir dan batin. Ketika semua kalangan Aus dan Khozroj, semuanya masuk Islam, dan demi membentuk masyarakat yang Islami, maka diperlukan adanya penyusunan konstitusi yang diberlakukan kepada semuanya, baik kalangan muslimin dan non-muslimin, antara sesama muslim, sesama non-muslim, dan antara muslimin dengan non-muslimin. Tujuannya adalah terciptanya perdamaian dan keadilan sosial di semua kalangan. Teks konstitusi -yang dikenal dengan "Shohifatul Madinah" (Konstitusi Madinah)- sangatlah panjang jika semuanya dikutipkan di sini, namun pada intinya adalah menciptakan kerukunan masyarakat antar agama, suku, dan bangsa, baik dalam permasalahan sosial, keagamaan, atau kriminal. Dan teks ini dikutip di literatur sejarah Nabi seperti Siroh Ibnu Ishaq, Siroh Ibnu Hisyam [As Siroh An Nabawiyah, Ibnu Hisyam, vol 1, hlm 501], bahkan dikutip oleh Imam Ahmad bin Hambal di dalam Al-Musnad. Serta ulama-ulama hadist lainnya yang mencantumkan riwayat Konstitusi/Shohifah Madinah ini.
Berangkat dari Konstitusi ini, Syeh Said Romadhon Al-Buthi memberikan kesimpulan bahwa dalam menerapkan hukum-hukum Syariat Islam di kalangan masyarkat diperlukan adanya Konstitusi yang mengatur kehidupan sosial dan masyarakat demi kelangsungan semua kalangan. [Fiqhus Siroh, Al-Buthi, hlm 225]. Konstitusi itu hanya menjadi wadah untuk menerima berbagai macam aspirasi masyarakat dari semua kalangan. karena Konstitusi Madinah hanya menyebutkan kewajiban, hak-hak masing-masing suku dan kaum, demi menciptakan keadilan bagi semuanya, dan ancaman berupa murka dan laknat Allah bagi siapa yang melanggar Konstitusi ini.
Namun, sangat disayangkan bahwa pemberlakuan Piagam Madinah ini tidak berjalan mulus, karena belum lengkap satu tahun bangsa Yahudi melanggar peraturan yang telah ditetapkan di dalam Piagam tersebut. Ialah Yahudi Bani Qoinuqo' yang tinggal di dalam kota Madinah, mereka sengaja berbuat makar. Karena itu memang watak dan karakteristik mereka. Demikianlah kisahnya:
Ada seorang perempuan muslimah, yang datang dengan membawa barang dagangannya di pasar Bani Qoinuqo', dan kebetulan dia bersebelahan dengan tukang jahit, ternyata di sana terdapat segerombolan Yahudi yang ingin mengganggunya. Mereka ingin membuka wajahnya, tapi ia menolak. Maka si tukang jahit sengaja mengerjainya dengan mengikatkan ujung bajunya ke punggungnya dan ketika dia berdiri maka auratnya terlihat oleh semua orang. Dan mereka menertawakan perempuan tersebut. Ia berteriak sekencang-kencangnya. Datanglah seorang muslim dan kemudian langsung membunuh si tukang jahit, berkebangsaan Yahudi itu. Kemudian segerombolan Yahudi itu membunuhnya juga. Maka umat Islam marah dan muncullah permusuhan di antara kedua belah pihak. Merekalah bangsa Yahudi yang pertama kali melanggar perjanjian Piagam Madinah. Inilah pengkhianatan pertama yang dilakukan. Kasus ini terjadi pada tahuan kedua Hijriyah. [As Siroh An Nabawiyah, Ibnu Hisyam, vol 2, hlm 47]. Terdapat sebab lain yang menyebabkan mereka diusir oleh Rasulullah saw dari Madinah, yaitu: dendam mereka atas kekalahan kaum Quraisy yang menjadi serikat Yahudi. Di mana mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami –demi Allah- jika kamu -Muhammad- perangi kami, maka kamu akan kau ketahui betapa kuatnya kamu".
Dan akhirnya Rasulullah saw memblokade mereka selama beberapa waktu dan pada Akhirnya mereka menyerah kepada Rasulullah saw. Dan terjadilah mufakat bahwa mereka harus diusir dari Madinah dengan meninggalkan semua harta-benda mereka, dan tidak diperbolehkan membawa apa-apa kecuali yang bisa mereka bawa.
Dari kisah ini, dapat kita pelajari bagaimana bangsa Yahudi merupakan bangsa yang licik, tidak mematuhi atas perjanjian yang telah dilaksanakan di antara umat Islam dan Yahudi dalam menjaga persatuan, kesatuan, perdamaian dan keamanan. Dalam kesimpulan yang lebih spesifik, pemberlakuan Piagam Madinah hanya berlaku dalam masa yang sangat singkat; karena dengan pengusiran Yahudi dari Madinah (Ijla'ul Yahud) merupakan bentuk real akan sudah tidak berlakunya Konstitusi yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, yang merupakan konstitusi pertama yang dimiliki umat Islam. Itu membuktikan bahwa statemen yang diangkat-angkat oleh oknum tertentu dalam formalisasi Islam sebagai sistem kenegaraan adalah statmen yang nihil, tidak sesuai dengan fakta sejarah. Formalisasi Islam tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat; karena bagi mereka yang terpenting adalah pemberlakuan terhadap hukum-hukum syariat dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bungkusnya dalam sistem kenegaraan dan hukum positif adalah hal yang kedua sebagai wadah dalam pengamplikasian hukum-hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Hukum-hukum Islam memerlukan wadah yang melindunginya, tanpa harus mengislamkan wadah tersebut. Toh ketika kita melihat isi dari Piagam Madinah tidak ada satu poin-pun yang menyatakan bahwa sistem negara harus berasaskan Islam. Justru nilai terpenting di dalam piagam tersebut adalah penanaman terhadap nilai-nilai keadilan, kesetaraan, perdamaian, keamanan diri dan harta, serta yang terkait tentang hak dan kewajiban. Tentu pada masa-masa awal periode Madinah, syariat Islam belum sempurna; karena sempurnanya Syariat Islam adalah dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw. Tentu dengan segala argumentasi ini, memberikan kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua kita dan para pendahulu kita dalam mengemas sistem kenegaraan, dan hukum-hukum yang berlaku adalah tidak dengan memformalkan Islam di Indonesia. Karena kemungkinan yang terjadi, sama seperti apa yang telah terjadi pada masa Rasul. Dengan kata lain, bungkus boleh tidak Islam, akan tetapi substansi dan isinya adalah nilai-nilai dan dasar-dasar keislaman. Itu semua bertujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
Serang, 7 Maret 2018.
Komentar
Posting Komentar