Proses Penciptaan Alam Dalam Perspektif Teori Emanasi

                          Proses Penciptaan Alam Dalam Perspektif Teori Emanasi
Oleh : Ferdiansyah Irawan, S.Ag

Filsafat merupakan disiplin ilmu yang sangat mendasar, sehingga semua disiplin ilmu yang lain membutuhkan pijakan filsafat. Dalam kajian ilmiah yang terdapat dalam ilmu pengetahuan akan ditemukan hakikat, seluk-beluk, dan sumber pengetahuan yang mendasarinya. Kita akan menemukan filsafat bersarang dimana-mana. Didalam ilmu pendidikan ada filsafat pendidikan, dalam agama ada fisafat agama, dan yang sekarang saya tulis adalah filsafat islam dan yang akan membahas tentang Emanasi yaitu teori tentang keluarnya suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari dzat yang wajib-ul-wujud (dzat yang mesti adanya; Tuhan) dan pemikiran para filosof-filosof yunani, india, dan muslim.
Emanasi ialah teori tentang keluarnya suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari dzat yang wajib-ul-wujud (dzat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori tingkatan wujud”. Kata emanasi, berasal dari bahasa Inggris emanation yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan, substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah: proses terjadinya ujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari ujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada karenanya setiap ujud ini merupakan bagian dari Tuhan. 
 Emanasi juga berarti: realitas yang keluar dari sumber (Tuhan, seperti cahaya keluar dari matahari). Dengan beremanasi itu tidak mengalami perubahan, emanasi itu terjadi tidak di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu terletak pada tinggkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian tentang dunia benda. Untuk menjadikan alam, Soul mula-mula menghamparkan sebagian dari kekekalan-Nya, lalu membungkusnya dengan waktu. Selanjutnya energi-Nya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta ini. Waktu berisi kehidupan yang bermacam-macam, waktu bergerak terus sehingga menghasilkan waktu lalu, sekarang, dan akan datang.
Ajaran emanasi juga beranggapan bahwa segala yang lebih tinggi berkembang kepada yang lebih rendah; dari yang tak berakhir kepada yang berakhir; secara demikian rupa, di mana pengaliran dari yang tak berakhir adalah secara bertahap menuju kebenaran yang berakhir.Emanasi, dimana istilah emanasi muncul pada filsafat Plotinus yang jelas merupakan akhir dalam kaitannya dengan filsafat Yunani, mula-mula tidak bermaksud akan mengemukakan filosofi sendiri. Ia hanya ingin memperdalam filosofi Plato yang dipelajarinya. Sebab itu filosofinya sering orang sebut Neoplatinisme. Apabila Plato mendasarkan ajarannya kepada yang baik yang meliputi segala-galanya, ajaran Plotinus berpokok kepada yang satu. Yang satu itu pangkal segala-galanya. Filosofi Plotinus berpangkal kepada keyakinan, bahwa segalanya itu, Yang Asal itu adalah satu dengan tidak ada pertentangan di dalamnya. Yang satu itu bukan kualitas dan bukan pula yang terutama dari segala keadaan dan perkembangan dalam dunia, segalanya datang dari suatu, Yang Asal. Yang Asal itu adalah sebab kuantitas, bukan akal bukan jiwa, bukan dalam bergerak bukan pula dalam tenang terhenti, bukan dalam ruang dan bukan dalam waktu.
Yang Satu itu tidak dapat dikenal, sebab tidak ada ukuran untuk membandingkannya. Pada dasarnya yang Satu itu tidak dapat disebut, karena nama-nama Yang Satu, Yang Baik, berlainan dengan nama-nama yang lain, tidak berhubungan dengan Yang Asal, Yang Satu itu menunjukkan sesuatu yang negatif, yaitu tidak ada padanya yang banyak. Yang baik menunjukkan apa artinya baik itu untuk mahluk yang lain, bukan apa itu baginya sendiri. Hanya satu saat yang positif yang tidak boleh tidak ada padanya, yaitu Yang Asal itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada.
Dari kalangan filosof muslim teori pelimpahan ini diikuti oleh Al Farabi.  menurutnya, tuhan adalah fikiran yang bukan berupa benda. Bagaimana hubungannya dengan alam yang berupa benda ini? Apakah tuhan keluar dari padanya dalam proses waktu, ataukah alam itu qadim seperti qadim-nya tuhan juga?
Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neoplatonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa didapatkan hakikat yang sebenarnya. Akan tetapi Al-Farabi dapat menguraikannya secara ilmiah, dan ia mengatakannya segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya. Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar ala mini terwujud. Dengan demikian, keluarnya alam (makhluk) dari tuhan terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (makhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi tuhan, karena tuhan tidak membutuhkannya. Alam tersebut tidak merupakan tujuan bagi tuhan dan wujud-Nya pun bukanlah karena lainnya.
Wujud pertama yang keluar dari tuhan disebut akal pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyyah), yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain, wujudnya yang nyata dan terjadi karena adanya tuhan, sebagai zat yang menjadikan. Jadi, meskipun akal pertama itu satu (tunggal), pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut  yang menjadi objek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui  dirinya, maka keluarlah akal kedua. Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit-pertama atau benda langit-terjauh (as-sama al-ula; al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua objek pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin, keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu bendanya benda langit dan jiwanya. Dari akal kedua timbullah akal ketiga dan langit kedua dan bintang-bintang tetap (al-khawakibats-tsabith) beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama. Dari akal ketiga keluarlah akal keempat dari planet saturnus beserta jiwanya. Dari akal keempat keluarlah akal kelima, dan planet yupiter (al-musytara) beserta jiwanya. Akal keenam, dan planet mars (mariiah) beserta jiwanya. Akal ketujuh, dan matahari (as-syams) berikut jiwanya. Akal kedelapan, dan planet venus (az-zuharah) juga beserta jiwanya. Akal kesembilan, dan planet marcurius (utarid) beserta jiwanya pula. Akal kesepuluh, dan bulan (qamar). Dengan demikian dari satu akal keluarlah satu akal pula dan satu planet beserta jiwanya.
            Dari akal kesepuluh, sesuai dengan dua seginya, yaitu wajibul-wujud karena tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya, dan dari segi dirinya merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah unsure empat dengan prantaraan benda-benda langit.
            Mengapa jumlah akal dibataskan pada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah Sembilan, yang untuk satu akal diperlukan satu-satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai suatu planet ketika keluar dari Tuhan. Akan tetapi mengapa jumlah bintang tersebut adaa Sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut aristetoles ada tujuh. Kemudian Al-Farabi menambahkan dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap, yang diambil dari ptolomey (caldius ptolomaeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi mesir, yang hidup pada pertengahan abad kedua masehi.
           Demikianlah jumlah akal ada sepuluh, Sembilan diantaranya untuk mengurus benda-benda langit yang Sembilan, dan akal kesepuluh, yaitu akal bulan, mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal-akal tersebut tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan, yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu zat-Nya saja, pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran, yaitu Tuhan, zat yang wajibul-wujud dan dari akal-akal itu sendiri.
Sedangkan pengaruh teori emanasi terhadap Ibnu Sina kelihatan pada pendapatnya bahwa alam ini adalah Qadim (non-creato exnihilo). Alam ini adalah azali sebagaimana azalinya Tuhan tetapi keberadaannya tergantung pada wujud Tuhan. Secara keseluruhan emanasi menurut para filosof Yunani dan India adalah: proses terjadinya ujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari ujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada karenanya setiap ujud ini merupakan bagian dari Tuhan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peranan Teknologi Informasi dalam Meningkatkan Dunia Kerja

Piagam Madinah,Simbol Konstitusi Yang Tidak Berlaku